Pergeseran Fokus Kemarahan Publik

 

Kerusuhan Agustus 2025 di Indonesia bermula dari tuntutan transparansi dan akuntabilitas DPR, khususnya terkait anggaran dan fasilitas mewah yang dianggap berlebihan. Aksi protes di Senayan pada 25 Agustus memicu perhatian publik terhadap lembaga legislatif yang kerap dipandang jauh dari kepentingan rakyat. Namun, setelah tragedi tewasnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus, arah kemarahan publik perlahan bergeser. Dari kritik terhadap DPR, fokus masyarakat beralih kepada aparat keamanan, terutama POLRI, yang dinilai represif dan gagal melindungi rakyat.

 

Isu ini dimulai dari rilisnya tunjangan DPR yang dirasa tidak masuk akal. Hal ini mendorong masyarakat untuk menyuarakan ketidakadilan. Bukannya meredam masalah, anggota dewan justru menyulut amarah masyarakat dengan berkata sesuatu yang tidak pantas dikatakan pada rakyat. Hal ini tentu menimbulkan dampak hebat berupa protes besar-besaran di depan gedung DPR. mereka bilang “gerbang DPR terbuka lebar bagi yang ingin menyampaikan unjuk rasa” namun kenyataannya? Pagar-pagar dilapisi oli dan dibarikade dengan beton dan pasukan tentara. Sementara para anggota dewan memutuskan untuk WFH (work from home).

 

Namun, peristiwa pada 28 Agustus mengubah narasi. Kematian Affan Kurniawan menghadirkan wajah lain dari ketidakadilan, yakni kekerasan aparat terhadap warga sipil. Di media sosial, tagar solidaritas untuk Affan lebih cepat menyebar dibanding kritik soal anggaran DPR. Dari titik itu, publik tidak lagi hanya menyoroti kebijakan DPR, melainkan juga menuntut pertanggungjawaban POLRI. Amarah publik mulai tergeser menyasar anggota kepolisian. Demonstrasi di markas besar POLRI hingga pembakaran dan vandalisme tehadap pos-pos polisi di sejumlah daerah. Kinerja polisi pun dipertanyakan, siapa yang sebenarnya mereka lindungi?

 

Pergeseran fokus ini juga memperlihatkan dinamika perlawanan sosial. DPR adalah simbol kelembagaan, tetapi POLRI adalah representasi langsung dari kekuasaan negara di lapangan. Ketika rakyat berhadapan dengan aparat di jalan, kemarahan menjadi lebih personal dan emosional. Maka, tidak mengherankan jika gelombang kritik publik yang awalnya menargetkan DPR berubah menjadi seruan moral terhadap POLRI. Dari isu kebijakan ke isu kemanusiaan.

 

Kerusuhan Agustus 2025 mencerminkan bagaimana fokus kemarahan publik dapat bergeser dari isu struktural ke isu personal akibat tindakan aparat. Bagaikan sebuah medan perang, POLRI dan rakyat diadu di lapangan, sementara DPR bersantai dalam istana megah sambil meneguk secangkir teh dari gelas emas. Pergeseran ini menunjukkan bahwa pengakuan masyarakat terhadap negara tidak hanya ditentukan oleh kebijakan elit politik, melainkan juga oleh bagaimana aparat keamanan berinteraksi dengan rakyat. Jika aparat gagal menjaga kepercayaan publik, maka krisis legitimasi dapat meluas dari ruang parlemen hingga ke institusi keamanan negara.

Posting Komentar

0 Komentar