Operasi 25 Agustus 2025: Antara Narasi, Massa, dan Kepentingan Elit

 






Dokumen “Rangkuman Singkat Aksi Operasi 25 Agustus 2025” merangkum dan menganalisa strategi yang terstruktur dalam mengelola, memanipulasi, sekaligus mengendalikan gerakan massa di Indonesia. Ini bukan sekadar catatan aksi biasa, tapi lebih ke pemetaan strategi propaganda, narasi, dan kontra-narasi terkait aksi massa yang bertujuan membentuk persepsi publik sekaligus menguntungkan kalangan elit tertentu.

 

Pertama, dokumen ini menjelaskan upaya untuk memancing kelompok anarkis keluar dalam aksi massa. Strategi ini dilakukan agar jika terjadi kerusuhan, publik bisa diarahkan untuk menyalahkan anarkis. Ini adalah pola klasik dalam operasi kontra-gerakan: mendiskreditkan lawan dengan menempelkan label negatif, sehingga aksi tersebut tampak tidak organik atau tidak mewakili aspirasi rakyat sebenarnya.

 

Kedua, ada sorotan terhadap pola penyebaran narasi oleh buzzer. Poster berkualitas rendah, narasi tekstual yang diarahkan, serta penggunaan tagar #DesakPrabowoBubarkanDPR menjadi contoh bagaimana propaganda digital dimainkan. Narasi ini diarahkan agar masyarakat menerima ide “DPR harus bubar,” yang jika diwujudkan, membuka jalan pada skenario darurat militer. Kekosongan sipil pasca pembubaran DPR bisa menjadi legitimasi bagi militer untuk kembali mengambil alih kekuasaan.

 

Ketiga, dokumen ini menyoroti bagaimana media sosial, khususnya platform seperti Tiktok Live, dipakai untuk menyiarkan propaganda secara masif. Operasi psikologis (psywar) dijalankan dengan cara membentuk opini bahwa sebagian mahasiswa tidak hadir atau tidak solid, sehingga melemahkan citra gerakan. Namun, pada saat yang sama, narasi “aksi santun” digencarkan untuk membingkai demonstran sebagai rakyat yang damai, sehingga mengundang simpati publik. Framing ganda ini menunjukkan adanya upaya sistematis dalam membentuk persepsi masyarakat secara simultan.

 

Keempat, kelemahan fundamental gerakan rakyat juga ditegaskan. Tidak adanya persatuan antara buruh, mahasiswa, dan organisasi rakyat lain membuat gerakan mudah dipecah dan ditunggangi narasi lawan. Hal ini dimanfaatkan oleh elit politik untuk memperdalam konflik horizontal di masyarakat, sementara mereka tetap mempertahankan posisi dominan tanpa tersentuh.

 

Dokumen ini menutup dengan tawaran alternatif. Alih-alih pembubaran DPR yang berisiko memicu darurat militer, disarankan adanya referendum opsional (pemungutan suara langsung oleh masyarakat) sebagai jalan demokratis untuk melucuti penyalahgunaan wewenang DPR. Alternatif ini sekilas terlihat lebih konstitusional, namun tetap mencerminkan upaya mengendalikan arah perlawanan rakyat agar tetap berada dalam koridor yang menguntungkan elit.

Posting Komentar

0 Komentar