Sumber:dewanpers.or.id |
Pers adalah pilar keempat dari demokrasi Indonesia. Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Draf RUU Penyiaran ini dikirimkan Komisi I DPR kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Maret 2024 yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Beberapa pasal dalam RUU Penyiaran ini dianggap dapat mengancam demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.
Lembaga pers sejatinya memiliki eksistensi kebebasan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat sesuai dengan fakta tanpa tekanan dari pihak manapun. Adanya pembahasan revisi UU penyiaran dianggap menjadi tameng bagi pemerintah untuk menjaga citra "baik" yang telah dibuat. Dilansir dari unggahan instagram narasinewsroom pada hari ini (19/05), seorang peneliti politik ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, mengatakan bahwa pemerintah dan DPR terlibat dalam merusak pondasi dasar demokrasi di Indonesia melalui UU Penyiaran. “Saya berani mengatakan bahwa mereka tidak tahu malu untuk mengusulkan ini.” kata Made. Hal ini disebabkan adanya beberapa pasal kontroversial yang mengekang kebebasan pers, salah satunya tentang larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Draf revisi UU Penyiaran versi 27 Maret 2024 tersebut terdiri dari 14 bab dengan 149 pasal sebagai revisi atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Adapun pasal kontroversial di antaranya:
- Pasal 8A huruf Q—KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
- Pasal 42 ayat 2—Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 50B ayat 2 huruf C—Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi
- Pasal 51E—Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang seharusnya menjadi rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akan tetapi, konsideran draft RUU Penyiaran tidak mencantumkan Undang-Undang Pers sama sekali.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan bila RUU ini diberlakukan maka tidak akan ada independensi pers, pers menjadi tidak profesional, dan membuat produk pers menjadi tidak berkualitas. Dia juga mengkritisi mengenai pembahasan RUU penyiaran yang sejak awal tidak ada koordinasi dengan dewan pers serta bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Dari sisi proses, RUU ini menyalahi putusan MK No. 91/PUU/XVIII/2020 tentang penyusunan regulasi yang harus meaningful participation dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.
“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5).
Dewan Pers juga menjelaskan alasan penolakannya substantif yakni pertama, adanya pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, hal ini bertentangan dengan mandat UU 40/1999. Pasal pasal 4 ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Tentu larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers yang jelas tertera dalam pasal 15 ayat 2 huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain. Kedua, perihal penyelesaian sengketa jurnalistik yang malah dilakukan oleh lembaga yang tidak punya mandat dalam penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik, telah jelas dalam UU bahwa mandat penyelesaian etik karya jurnalistik ada pada Dewan Pers. Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika, menegaskan jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers.
sumber: Kompas.com |
Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana mengungkapkan bahwa adanya RUU penyiaran ini sangat jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers. Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang disampaikan oleh Kamsul Hasan. Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. Herik Kurniawan, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) meminta draf RUU itu dibatalkan karena dapat merugikan publik dan meminta agar disusun kembali sejak awal dengan melibatkan semua pihak terkait. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nani Afrida, mengatakan bahwa jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik. Penolakan yang sama disampaikan oleh oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.
Aksi penolakan terhadap Revisi UU Penyiaran terjadi di Kota Malang. Puluhan jurnalis berunjuk rasa menolak Revisi UU Penyiaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang pada Jumat, 17 Mei 2024. Dari pihak DPR sendiri, Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid mengatakan bahwa pihaknya tidak berniat mengecilkan pers dan akan mempelajari masukan terkait Draf RUU Penyiaran. Ia mengakui penulisan draf cenderung multitafsir dan menyebut komisinya akan membuka ruang untuk berbagai masukan masyarakat. Sementara itu Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan bahwa penayangan konten jurnalistik investigasi ini tidak dilarang melainkan akan disusun dan dikaji ulang untuk kebaikan bersama karena menurutnya jurnalistik investigasi yang ada sebelumnya tidak semuanya benar. Tambahan dari Anggota Komisi I, Dave Akbarshah Fikarno Laksono, mengatakan bahwa revisi UU Penyiaran merupakan hal yang penting untuk dilakukan demi menjaga generasi bangsa dari konten negatif. Menurutnya media yang tersebar secara digital saat ini kerap memuat konten yang tidak selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Lantas bagaimana jika RUU ini berhasil diterapkan? Apakah Indonesia kembali ke masa orde baru di mana kebebasan berekspresi dibatasi? Apakah ada kepentingan segelintir orang dalam pembahasan RUU penyiaran ini?
Penulis: Maitsaa Aaliya Sabrina
Redaktur: Firda Rachmawati
0 Komentar