Nepotisme Kepanitiaan: Halal atau Haram?

Ilustrasi LPM Satu Kosong

SURABAYA, LPM SATU KOSONG - ITS rutin menyelenggarakan event tahunannya seperti Gerigi, UKM Expo, Maba Cup, INI LHO ITS!, dan ITS Expo. Dalam perjalanannya hampir tiap tahun mahasiswa dengan kecurigaan berupa indikasi nepotisme dalam open recruitment kepanitiaan. Berbagai spekulasi muncul di banyak kalangan mahasiswa, apakah benar adanya indikasi nepotisme di dalam proses recruitment kepanitiaan?

Sejak awal masuknya mahasiswa dalam kehidupan perkuliahan di ITS, mahasiswa didoktrin bahwasannya keluarga mahasiswa adalah kesatuan dari berbagai elemen. Menelaah kecurigaan berupa indikasi nepotisme, adanya kecenderungan nepotisme ini layaknya pisau bermata dua. Jika benar kecenderungan tersebut mengedepankan kapabilitas dapat saja dibenarkan atas dasar demi keberlangsungan organisasi untuk ketercapaian visi. Namun sebaliknya, jika kecenderungan tersebut bukan tanpa dasar kapabilitas maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan.

“Tetapi kita memang lebih prefer, jika sudah kenal dengan orang tersebut dan udah tau, gini lo kualitasnya. Karena berkas dan interview pun sebenarnya enggak menjawab dan memberitahu kita 100% gimana kualitas dan kompetensi orang tersebut. Ketika kita udah pernah kerja bareng sama orang tersebut, ya kita udah langsung tau gitu lo, gimana cara kerjanya dia.” jelas N.

N, salah satu Ketua Panitia event tahunan ITS menjelaskan bahwasannya benar adanya kecenderungan dalam proses recruitment pada event yang menjadi tanggung jawabnya. Kecenderungan relasi dalam mengisi struktur kepanitiaan didasarkan pada kapabilitas itu baik. Namun bila dibiarkan terus menerus hal ini hanya akan menjadi siklus tahunan dan privilege tersebut membuat mereka —yang ingin turut berkontribusi— menjadi hilang kesempatannya karena kalah tersisihkan oleh nama-nama yang sudah dikenal.

Dari penuturan N, menyatakan bahwa proses recruitment tetap mengedepankan kapabilitas, tahapan wawancara menjadi salah satu penunjang dianggap belum mampu membuktikan kompetensi. Tindakan tersebut tetap didasarkan suatu alasan yang objektif yaitu dengan pengalaman kapabilitasnya yang sudah diketahui luas. Namun, akan lebih bijaksana lagi apabila penilaian murni didasarkan pada hasil interview masing-masing individu tanpa mempertimbangkan keterkenalan dengan relasi. Ketika keadilan tersebut diwujudkan, diharapkan semangat peminat pendaftar open recruitment tetap terjaga sehingga memberikan nilai perkembangan daripada event sebelumnya.

Jika sistem di dalam kampus diibaratkan sebagai sebuah sistem dari kehidupan di masa mendatang, penyebutan “sistem” cukup berkorelasi menggambarkan apa yang terjadi di dalam kampus. Dunia kampus yang selalu diwarnai dengan berbagai penyelenggaraan event tahunannya menggambarkan pada mahasiswa tentang persaingan di kehidupan nyata nantinya. Kampus yang sejatinya sarana membentuk diri, sedikit banyak mengambil peran dalam membentuk karakter setiap individu yang terlibat di dalamnya. Sejak dari awal masuk, mahasiswa di doktrin untuk aktif. “Jangan jadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) saja!”. Kurang lebih seperti demikian doktrin yang diterima sejak awal diterapkan.

Sering kita mendengar jawaban berbagai mahasiswa sesaat setelah ditanya mengenai alasan mengikuti sebuah organisasi, kurang lebihnya akan dijawab tidak jauh dari keinginan memperluas relasi dan pengalaman. Alasan tersebut tidak sepenuhnya keliru. Dalam dunia kerja, relasi dan pengalaman diutamakan. Persoalannya adalah apakah relasi memang benar-benar diperlukan ketika seseorang sudah berpengalaman? Karena pada demikian, seseorang yang berelasi akan lebih diutamakan.

Adanya anggapan bahwa relasi dapat menjadi poin plus secara tidak langsung menormalisasikan sistem nepotisme. Jika sejak awal pola pikir mahasiswa sudah pragmatis. Maka bukan tidak mungkin praktik nepotisme akan mengakar kuat sulit dihilangkan.

Akhir dari permasalahan ini dapat berimplikasikan kepercayaan moral yang menyusut. Masalah ini hanya akan menjadi budaya atau siklus tahunan yang tidak terselesaikan ujungnya. Perlu adanya sistem yang baru sesuai kesepakatan yang dapat mengembalikan kepercayaan, dengan diadakannya sistem berkeadilan yang menciptakan kesetaraan. (Afnan Aryanda)

Penulis: Afnan Aryanda 

Editor: Primo Rajendra


Posting Komentar

0 Komentar