Senangkan Keponakan, Mudahkan Pencalonan: Mahkamah Konstitusi atau Keluarga?

Ilustrasi LPM Satu Kosong


SURABAYA, LPM SATU KOSONG – Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum. Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. Menguji undang-undang terhadap UUD;
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
  3. Memutus pembubaran partai politik, dan
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.


Dinamika Putusan MK

Terkait dengan fungsi MK dalam Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, MK menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres di Jakarta, Senin (16/10/2023). Sidang perkara 90/PUU-XXI 2023 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Almas Tsaqibbirru. Petitumnya adalah meminta ditambahkan frasa 'berpengalaman sebagai kepala daerah' sebagai syarat capres-cawapres. Setidaknya ada lima argumentasi dari pemohon Almas Tsaqibbiru mengapa Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7/2017 harus ditinjau kembali sebagai berikut:

  1. Menurut pemohon, ketentuan pada pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan suatu pelanggaran moral dikarenakan ini menciptakan diskriminasi dari satu golongan umur tertentu yang seharusnya diberi kesempatan yang sama.
  2. Menurut pemohon, ketentuan pada pasal 169 huruf q UU 7/2017 mengakibatkan ketidakadilan yang intolerable karena memaksakan rakyat Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden berdasarkan kriteria umur yang diatur oleh undang-undang.
  3. Pemohon memiliki pandangan tokoh ideal sebagai pemimpin bangsa Indonesia yaitu Walikota Surakarta periode 2020-2025 atau Gibran. Hal ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di Surakarta sebesar 6,25%, mengingat pada saat awal menjabat pertumbuhan ekonomi Surakarta berada di angka -1,74%.
  4. Menurut pemohon, dengan banyaknya data kepala daerah terpilih dengan usia dibawah 40 tahun pada pemilu 2019, maka sudah seharusnya konstitusi tidak membatasi hak konstitusional para pemuda untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.
  5. Menurut pemohon, dengan sudah pernah terpilih dan menduduki jabatan kepala pemerintah baik itu di daerah provinsi maupun kabupaten/kota, maka yang terpilih sudah teruji dan sudah berpengalaman untuk memimpin.

Dengan argumen-argumen di atas pemohon Almas Tsaqibbiru menyatakan pada Pasal 169 Huruf q Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, sepanjang "berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan " ... atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota".


Putusan MK dalam Mengabulkan Gugatan

Pada sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia capres-cawapres, Mahkamah Konstitusi mengabulkan tiga putusan dari gugatan pemohon.

  1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
  2. Menambahkan pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang awalnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun" menjadi berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Sehingga dengan penambahan kalimat itu, pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum selengkapnya berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
  3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Mahkamah Konstitusi Harus Bersikap Independen

Pada sidang putusan Pasal 169 huruf q seharusnya Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman tidak boleh ikut serta dalam persidangan dari awal sampai dengan pengambilan keputusan. Potensi keberpihakan pengambilan keputusan dari Ketua MK menjadi alasan utama mengapa seharusnya Anwar Usman tidak ikut serta dalam persidangan. Menurut pengamat politik, Ray Rangkuti mengatakan bahwa MK bukanlah Mahkamah Keluarga, mengingat bahwa Ketua MK adalah adik ipar dari presiden Jokowi. Gugatan atas pasal 169 huruf q ini diduga untuk meloloskan Gibran sebagai Cawapres.


Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut, Hakim konstitusi –kecuali mengakibatkan tidak terpenuhinya kuorum untuk melakukan persidangan– harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena alasan-alasan di bawah ini:

  1. Hakim konstitusi tersebut nyata-nyata mempunyai prasangka terhadap salah satu pihak; dan/atau
  2. Hakim konstitusi tersebut atau anggota keluarganya mempunyai kepentingan langsung terhadap putusan;

Maka dari itu, terdapat segitiga keterhubungan antara Presiden Jokowi-Gibran-Ketua MK Anwar Usman. Tiga tokoh ini seakan-akan memaksakan bahwa Gibran harus bisa menjadi Cawapres. Dalam pandangan skeptis, keterhubungan ini membawa pada hipotesis bahwa Presiden Jokowi masih haus akan kekuasaan untuk memimpin, setidaknya di balik layar. Ditambah dengan gugatan Almas Tsaqibbiru yang secara gamblang mengatakan bahwa Gibran adalah sosok politik yang pantas memimpin. Terlebih, adanya gugatan dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tentang pasal yang sama. Seperti yang diketahui, ketua umum PSI sekarang adalah Kaesang yang tak lain adalah anak Presiden Jokowi dan adik dari Gibran.


Plot Twist Jokowi pada Akhir Periode

Pertanyaan yang harus dilontarkan kepada Presiden Jokowi adalah apakah ia dan keluarganya ingin membangun dinasti politik di Indonesia? Kalimat tentang kita harus memilih pemimpin yang berkelanjutan sudah seringkali dilontarkan dari pemerintahan Presiden Jokowi. Sedangkan capres yang lekat dengan keberlanjutan ini adalah Prabowo dan Ganjar. Hal ini seakan-akan pemimpin yang tidak berorientasi kepada keberlanjutan tidak layak untuk dipilih. Ditambah dengan gugatan yang memaksa untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres menguatkan niat dan hasrat Presiden Jokowi dalam berkuasa.


Apakah keluarga Presiden Jokowi dan pemerintahannya memiliki niat untuk membangun dinasti politik? Apakah ada upaya untuk memuluskan jalan bagi Gibran sebagai calon pemimpin berkelanjutan? Hal ini mengundang pertanyaan tentang dinamika politik dan tujuan pemimpin di Indonesia. Apakah dinamika politik di Indonesia sudah bagus atau perlu perombakan? Apakah tujuan pemimpin di Indonesia masih berorientasi para rakyat? (Afnan Aryanda)




Penulis : Afnan Aryanda

Editor : Dela Aulia


Posting Komentar

0 Komentar