Sejuta Warna Puan

 



Mereka yang kerap mempertanyakan perempuan justru mereka yang kerap kali  kebosanan atau tidak punya cukup kecakapan sehinggga harus menjadikan orang lain  hiburan. “Wah, segeran ya?” basa-basi yang dikira hangat namun menyengat. Sesuatu  yang dikira bisa dibalas senyum tawa tapi nyatanya hanya senyuman sebelah wajah.  Tidak jarang perempuan dinilai sebagai makhluk paling ribet padahal nyatanya cara pandang dunialah yang menyulitkan. Kita harus bertimbang lebih banyak saat menenukan pilihan. Sekadar membuat pilihan saja sudah dianggap menantang, meski tujuannya mulia. Seakan tergambar perempuan yang memiliki ambisi maka ia akan menentang tradisi. Perempuan sering kali dihadapkan pada pilihan bekerja atau ibu rumah tangga, seakan memilih satu berarti mengorbankan yang lain, bekerja berarti tidak sesuai kodrat atau menjadi ibu rumah tangga yang mengorbankan bakat.  Perempuan itu multi peran. Rasa bahagia dan ibu yang bekerja itu kata yang sejalan maknanya, bahkan seorang ibu yang juga bekerja tetap menjadi ibu sepenuhnya, bukan? 

Perempuan memang selalu terlalu untuk yang ketakutan melulu. Terlalu pemilih, terlalu berani, atau bahkan terlalu mandiri. Yakinilah kita juga bisa berbuat, bertindak, dan berkarya dimana pun dan jadi apa pun kita. Siapa yang bilang ibu rumah tangga itu bukan pekerjaan? Itu pekerjaan paling berat sedunia, mengurus rumah dari semua sisi tanpa gaji. Ketahuilah, kodrat perempuan itu hanya tiga: menstruasi, hamil, dan menyusui. Masak, mengurus rumah, dan semuanya bukan kodrat kita, kaum adam pun bisa. Para perempuan hanya perlu bergandengan tangan, meyakinkan satu dengan yang lain. Kesuksesan tidak perlu diperebutkan, kerja sama didahulukan, tidak usah saling  menjatuhkan. Ajarkan pada anak-anak kita, perempuan cantik itu yang baik bukan yang fisiknya paling menarik. Tidak perlu membuka aib anak kita saat kumpul keluarga, bukankah kita yang menyuruh mereka menjaga sikap? Perihal pasangan, anak, pekerjaan, tidak perlu menjadi basa-basi hangat untuk saling sapa. Bahkan pendidikan yang terlalu tinggi, sekadar ibu rumah tangga, pemakaian suster anak, hingga lahiran cessar pun sering dilontarkan orang-orang terdekat yang tanpa disadari membuat hati tersayat. Kalau kurang bahagia bukan dengan mengurusi hidup orang lain, cari pekerjaan, cari kebahagiaan kita sendiri.

Mereka bilang cantik andai lebih langsing lagi, lemak ditubuh masih bergelambir, potonglah jatah makan, luangkan waktu untuk olahraga sore tapi jangan terlalu ceking, tidak enak dipandang seperti kurang gizi. Mereka bilang cantik andai riasan di muka tidak menor, cobalah berdandan natural tapi bukan berarti tanpa make up nanti pucat. Mereka bilang cantik andai kulit putih bersih tapi juga jangan terlalu putih nanti dikira mayat. Mereka juga bilang cantik andai kulit eksotis tapi jangan terlalu banyak berjemur nanti kumal, hitam legam yang sudah pasti tidak cantik. Mereka bilang cantik andai rambutmu hitam, panjang, lurus sedikit bergelombang tapi jangan keriting mengembang sampai kribo, nanti mukamu bulat, tidak cocok, juga jangan potong terlalu pendek nanti dikira laki-laki. Mereka bilang cantik andai tampil trendy, rambut warna-warni tapi juga jangan warna neon nanti terkesan norak. Tidak ada yang salah untuk menjadi cantik, tapi jangan mau didikte oleh standar yang dibuat orang lain.  Bayangkan betapa menjenuhkannya jika semua segaram, perempuan langsing, putih, natural, rambut lurus hitam panjang. Buat dan ambil ukuran cantik kita sendiri. Kita bahkan dibekali sesuatu yang lebih cantik dari yang kita duga. Standar kecantikan yang tidak memanusiakan perempuan harus ditinggalkan. 

Tidak sedikit orang tua yang tidak tahu kesehatan mental anaknya. Mengatakan semua baik-baik saja meski nyatanya ejekan fisik menjadi masalahnya. mama, tante, kakak, nenek, tetangga dan semuanya tidak mengerti betapa tidak nyamannya hati ketika semua diisi oleh perbandingan diri. Tidak menyadari bahwa setiap ekspresi punya pesonanya sendiri. “Jangan gemukan lagi, mau jadi apa habis lahiran nanti. Jangan sekolah terlalu tinggi, akhirnya juga di dapur suami. Nggak perlu suster segala, dulu nenekmu semuanya bisa. Nggak usah pilih-pilih pasangan, keburu jomblonya kelamaan” Rasanya ingin berteriak akan semuanya, namun apa daya sopan santun penghalangnya. Semua yang mereka katakan hanyalah tradisi, setiap masa ada strugle nya. Mereka mana tahu bahwa diet itu bukan usaha mengecilkan badan tapi tentang aturan makan, bahwa jomblo itu harusnya jomlo yang artinya gadis tua bukan tanpa pasangan. Banyak hal yang ingin ku beri tahu pada dunia tanpa penghakiman sok tau. Berharap semuanya lebih baik untuk generasi yang mau dikritik.

Tak lama ini sempat menjadi perbincangan menarik tentang makna perempuan di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pihak Badan Bahasa Kemendikbud, Komnas Perempuan, dan pihak lainya turut bekomentar terkait hal ini. Makna perempuan di sana seakan fokus pada seksualitasnya saja, menggambarkan memang begitu wanita dari dulu. Body Shaming dan Beauty Previlllage juga hal yang sering diperbincangkan untuk kaum hawa. Pendapat pro kontra rasanya bergantian masuk kesana kemari, hingga saking penatnya membuat stigma “tau apa lo tentang gue, pendapat lo ga penting” Stigma-stigma tentang perempuan sudah sangat banyak dibicarakan. Bahkan tentang pemerkosaan pun terkadang perempuan yang disalahkan. Paradigma yang menyalahkan perempuan, diasumsikan perempunnya yang terlalu begini begitu, padahal kontrol  pikiran pelakunyalah yang patut disalahkan.

Mari perluas makna kecantikan, tidak hanya sesuatu yang merupakan bawaan dari lahir karena itu membuat semata menjadi kata benda. Kecantikan seharusnya juga menjadi kata kerja. Tunjukkan pada dunia bahwa cantik tak hanya paras dan wajah tapi juga perbuatan, tindakan, dan aktivitasnya. Sangat perlu melakukan pendekatan antara orang tua dan anaknya, terlebih ibu dan putrinya. Anak perempuan lebih sering overthinking, insecure, dan minder daripada laki-laki yang terkesan bodo amat meski tidak semuanya. Sekadar mendengar ada cerita apa hari ini, menanyakan bagaimana  keadaan hati dari pagi hingga malam hari, dan banyak hal sederhana lainnya yang bisa  membuat peran ibu lebih berarti. Tidak sepenuhya salah menjadi strict parents, tapi perlu diingat semua ada batasnya. Anak pun jangan meminta lebih, berekspektasi tinggi hingga mengatakan salah orang tua jika semua tak sesuai harapan diri. Kita semua perlu membawa kecantikan masing-masing berdampak bagi sekeliling, menjadikan orang lain mengerti makna cantiknya sesuai kedudukan kita. Cantik itu tidak takut punya banyak mimpi dan ambisi yang tinggi tapi juga kemurahan hati dan rasa empati. Karena sejatinya perempuan memang bukan pemandangan dan kecantikan bukan ajang perlombaan. Semua bunga akan mekar, tapi tidak semuanya bersamaan.

Penulis: Firda Rachmawati
Ilustrasi: Firda Rachmawati



Posting Komentar

0 Komentar