Bungsu yang Rindu

 



    Perempuan sederhana yang tidak pernah jauh dari orang tua. Sejak kecil hingga umur yang mendekati kepala dua, aku selalu bersama keluarga tercinta. Keluarga yang entah bagaimana cara mendeskripsikannya tapi jika aku berkeluarga nanti, aku tidak ingin seperti ini. Bukan perkara mudah untuk sekadar bercerita tentang perasaan hari ini. Semua orang hanya bertaut pada perasaannya sendiri, menyelesaikan masalahnya masing-masing, atau bahkan memendam semuanya. Dua puluh empat jam dalam sehari rasanya lebih banyak keheningan daripada rasa hangatnya sebuah keluarga. Anak bungsu ini tidak meminta lebih atau pun berekspektasi tinggi, hanya saja ingin merasakan rasa hangat di hati.

    Sedari kecil aku diajarkan tentang bagaimana menjalani hidup yang penuh akan perlombaan. Menang atau kalah, hanya itu pilihanya. Aku yang masih TK saat itu tidak akan punya waktu santai. Setiap minggu mengikuti perlombaan, memeriahkan sebuah acara layaknya volunteer yang tak ingin sepi peminat. Tidak dipaksa, hanya saja ingin menunjukkan bakti kepada orang tua. Semua itu berlanjut hingga aku SD, selama enam tahun diajarkan tanpa henti untuk selalu bersaing. Banyak piala, medali, dan penghargaan lain yang aku terima meski waktu bermainku sedikit tersita. Begitu singkatnya aku bercerita masa kecilku. Masa kecil yang hitam putih warnanya, tidak ada rasa lain selain rasa penatnya belajar. Menginjak berseragam putih biru, aku mencoba menentukan arah kapalku sendiri. Mencoba menjadi nahkoda untuk kapalku yang sudah lama berlayar tak tentu arah. Kala itu aku memutuskan untuk fokus pada pendidikanku, bukan pada ajang perlombaan yang sebelumnya menghantuiku. Perasaan bersyukur tentu ada, aku diterima di SMP terbaik kotaku melalui jalur prestasi. Prestasi yang aku raih selama SD membuatku meluncur dengan mudahnya. Tak hanya itu, kebiasaan belajar yang tiada henti rasanya masih melekat pada diri ini. Tiga tahun menempuh pendidikan dengan sangat fokus lagi-lagi tidak memberiku halangan apa pun untuk melanjutkan menuju SMA terbaik.

    Semakin bertambahnya usiaku semakin aku mampu memegang kendali kapalku. Masa SMA yang sangat penuh warna membuatku merasakan perjalanan yang ku kira sesungguhnya. Bebas menentukan pilihan, berkumpul bersama teman dengan mudahnya. Hingga pada satu titik perjalananku, perasaan geram datang. Geram pada diri sendiri yang tidak bisa meyakinkan orang tua bahwa anak bungsunya bisa mandiri. Keputusanku untuk merantau selepas SMA dinilai lelucon belaka bagi mereka. Menganggap putri bungsunya tidak akan bisa hidup tanpa mereka, nyatanya sehari-hari memang terlatih untuk sendiri. Perdebatan panjang, saling diam beberapa pekan hingga akhirnya mereka mengiyakan keputusan yang kubuat dengan banyak pertimbangan. Dalam tekadku, aku berkata, aku berhak atas semua, semua perjalanan dan keputusanku. Terdengar egois memang tapi aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika nyatanya nanti semua tidak sesuai niat diri.

    Aku paham orang tuaku memang dingin, tapi sayangnya mereka tidak akan ada banding. Mereka menyayangiku dengan cara mereka sendiri, tentu dengan tidak mengistimewakan anak bungsu seperti cerita yang lain. Kini aku telah resmi menjadi anak rantau. Dengan segala cerita dan keluh kesah, anak bungsu ini menjalani harinya dengan semestinya. Berkuliah sesuai minat, bakat, dan keputusannya melalui jalur istimewa karena hasil belajar yang tiada hentinya. Perasaan bingung harus melakukan apa di kamar kost tentu menjadi cerita harianku. Tetapi semakin hari semakin paham diri ini bahwa merantau menjadi pilihan yang berarti. Aku tidak lagi mendengar basa-basi keluarga yang membahas tentang fisik, pertanyaan tetangga yang seakan tahu segalanya meski nyatanya tak asik, dan semua hal menjenuhkan yang membuat otakku berisik. Penat yang kulepas dengan cara merantau ternyata menunjukkan padaku tentang perjalanan hidup yang sebenarnya. Setiap saat bertemu dengan banyak manusia baru, dengan tingkah laku dan karakter yang jumlahnya beribu-ribu. Bebas merasakan semua perasaan yang dulu dikekang. Hidup menjadi lebih mandiri, menanggung semua masalahku sendiri meski memang sedari dulu terlatih. Tidak banyak atau bahkan tidak ada yang mengenaliku di sini, di kota rantau yang bahkan aku belum pernah menginjakkan kaki. Setiap pagi berbelanja di pasar, berjalan kaki menyapa tetangga dengan senyum lebar. Menjadi kesenangan tersendiri bisa mengetahui harga sembako, memilah sayur dan berbelanja bulanan di toko. Keahlian mengatur waktu pun seketika meningkat pesat. Waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, masak, cuci baju hingga nongkrong harus diatur hingga semua tertata sesuai porsinya. Masalah uang yang masih cukup atau tidak tentu mejadi momok anak rantau di akhir bulan. Bahkan sekadar besok mau masak apa menjadi renungan sebelum tidur. Anak bungsu ini tumbuh lebih baik di sini, aku merasakan banyak perubahan dalam diri. Lebih bertanggung jawab, lebih produktif, lebih mandiri terlebih saat sakit, lebih bisa menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri hingga lebih bisa mengerti hidup yang sebenarnya.

    Keputusanku untuk merantau menjadi bukti diriku telah keluar dari zona nyaman. Zona yang dianggap paling aman meski takut akan perubahan dan bayang-bayang ketidakpastian. Sedari awal aku sangat yakin bahwa sukses tidak akan bertahan saat aku terlalu nyaman. Lebih baik keluar dari zona nyaman dan kembali bekerja keras daripada merasa nyaman tapi masa depan tidak jelas. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa orang tuaku tidak mengerti aku, bukan.  Tetapi aku merasa mereka ingin putri bungsunya selalu aman dalam dekapan, mereka terlalu kuno dengan stigma masyarakat yang masih awam tentang masa depan. Asalkan mau membuka pikiran, tidak ada yang perlu ditakutkan. Asalkan mau terus belajar dan berusaha, maka akan selalu ada hasil yang luar biasa. Aku selalu yakin bahwa setiap duka akan memiliki makna, semua akan baik-baik saja pada waktunya.

    Jangan tiru bagaimana aku membina hubungan dengan orang tua, aku berharap hidup kalian lebih baik dari yang kalian duga. Percayalah bahwa setiap doa yang kita panjatkan kepada Yang Maha Kuasa dan setiap usaha dari kita tidak akan ada yang sia-sia. Pantang pulang sebelum tumbang, rasa rindu yang teramat sangat membuatku harus pulang. Saat aku pulang ke rumah, perasaan rindu tiba- tiba hadir seketika. Aku rindu rumah itu, bilik kamar, dan semua tempat yang dulu ku singgahi saat datang kerisauan hati. Seolah semua mengatakan amat risau dan rindu menungguku, kepulanganku yang sedang berguru membuatku lebih menghargai rasa rindu. Orang tuaku seakan menyapa hangat kedatanganku, rasa yang sangat langka untukku. Mereka mengatakan semua baik-baik saja sejak kepergianku hingga saat ini, tidak lain bermaksud menenangkan hati. Pulanglah kapan pun kalian mau dan bagaimana pun keadaanmu, rumah seisinya dan mereka akan selalu ada untukmu.

Penulis: Firda Rachmawati
Ilustrasi: Firda Rachmawati

Posting Komentar

0 Komentar