Rabu, 13 Agustus 2025, alun-alun atau Pendopo Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi saksi dari sebuah fenomena politik lokal. Ribuan, bahkan ratusan ribu orang, berbondong-bondong turun ke jalan. Mereka menuntut dua hal utama: pengunduran diri Bupati Sudewo dan pembatalan kenaikan pajak PBB-P2 sebesar 250%.
Demonstrasi ini muncul dari akumulasi keresahan publik. Isu pajak, pemutusan tenaga kerja, hingga proyek-proyek yang dianggap hanya menguntungkan kelompok tertentu, semuanya menjadi pemicu ledakan protes.
Pati memang bukan pusat politik nasional. Tapi justru dari daerah pinggiran inilah suara rakyat terdengar lantang. Aksi besar ini memaksa pemerintah daerah untuk merespons, sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat mulai sadar akan posisi dan daya tawarnya.
Pertanyaannya, apakah Pati akan berhenti sebagai gejolak lokal? Atau justru menjadi pemicu gerakan yang lebih luas di tingkat nasional?
Gerakan seperti dapat
memberikan efek domino pada daerah lain yang memiliki isu yang sama, ada
beberapa hal yang dapat diperhatikan. Mulai dari isu pajak dan ekonomi, dimana
kenaikan PBB 250% adalah isu ekonomi yang dekat dengan kehidupan masyarakat
kecil. Persoalan serupa banyak ditemui di banyak daerah, sehingga mudah
dipahami dan dirasakan oleh rakyat luar Pati. Kedua, peran media sosial yang
memungkinkan narasi perlawanan untuk menyebar dengan cepat dan luas sehingga
dapat memicu pergerakan-pergerakan di daerah lain. Terakhir respon pemerintah.
Bila tuntutan masyarakat dipenuhi dengan dialog konstruktif, eskalasi dapat
diredam. Sebaliknya jika jawaban yang muncul adalah represi atau pembiaran,
potensi perlawanan akan menguat.
Aksi
Penulis : Bima Putra
0 Komentar