Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP saat ini masih menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Rencana pengesahan RKUHP dalam waktu dekat ini menuai pertentangan dari masyarakat karena prosesnya yang tidak transparan. Dari sebanyak 632 pasal yang ada, 14 diantaranya menjadi pasal krusial yang saat ini masih banyak diperdebatkan. RKUHP sementara dapat diakses disini.
Keempat belas point yang dipersoalkan publik telah mendapat penjelasan dari Kementerian Hukum dan HAM, berikut pasal krusial tersebut:
- Hukum yang hidup dalam masyarakat (living law)
- Pidana mati
- Penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden
- Tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib
- Dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa ijin;
- Unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih;
- Contempt of court berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan.
- Advokat curang dapat berpotensi bias terhadap salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus);
- Penodaan agama;
- Penganiayaan hewan.
- Penggelandangan;
- Pengguguran kehamilan atau aborsi;
- Perzinahan,
- Kohabitasi dan pemerkosaan.
Dari 14 pasal di atas, poin ke-3 merupakan isu yang paling sering dibahas dan menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Namun pada kesempatan kali ini, saya hanya ingin membahas dan mengungkapkan pendapat terkait penyerangan Presiden dan Wakil Presiden serta harkat dan martabatnya, dan tambahan isu penghinaan terhadap pemerintah, jika boleh.
Dalam RKUHP, tercantum aturan tindak pidana terhadap pribadi Presiden dan Wapres yakni pasal 217 tentang Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden di ruang publik.
Pasal 217
Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pemerintah menyebutkan bahwa pasal pidana ini untuk menjaga kehormatan Presiden dan Wakil Presiden serta hanya bisa digunakan apabila Presiden dan Wakil Presiden melakukan tuntutan secara pribadi. Dalam bagian penjelasannya, negara pun mengatur bagaimana seharusnya kritik dilontarkan, yakni kritik konstruktif.
Hal tersebut persis seperti dipropagandakan saat Orde Baru bahwa kritik merupakan sumbangan terhadap pembangunan, tetapi harus disampaikan secara konstruktif. Kritik yang konstruktif adalah kritik yang dilakukan dengan cara-cara dan memenuhi unsur-unsur tertentu yaitu to the point, bersusila sopan dan memberi alternatif (Humas Kejaksaan Agung, 1971). Jika tidak demikian, pilihannya hanya bui maksimal 5 tahun atau 3 tahun 6 bulan, kan? Memang namanya “roda pemerintahan”, namun rasanya juga tidak perlu untuk memutar waktu kembali ke Orde Baru. Muncul kesan bahwa presiden ataupun lembaga kepresidenan seolah tidak bisa dikritik, karena itu dianggap menghina presiden.
Ternyata tidak hanya Presiden dan Wakil Presiden saja yang was-was untuk dikritik, pemerintah dan lembaga negara serupa. Berdasarkan draft terakhir yang dibuka kepada publik, peraturan tersebut berada dalam RKUHP pasal 240 dan 241.
Pasal 240
Setiap Orang yang Di Muka Umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 241
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Menurut saya hal ini bertolak belakang dengan pemerintah yang seharusnya memang dikritik untuk mendengarkan suara rakyatnya. Kedua pasal ini dianggap bisa menjadi alat pemerintah untuk memberangus suara kritik rakyat. Peraturan ini seolah menggambarkan pemerintah objek yang dilindungi, padahal tidak demikian. Pemerintah memang seharusnya bekerja untuk rakyat dan tidak perlu merasa risau jika ada masukan dari rakyat.
Kita semua mengetahui bahwa perkara RKUHP sudah berjalan sekitar 4 tahun dan tertunda pada 2019. Pemerintah bersama DPR akhir-akhir ini memang terlalu fokus pada 14 isu krusial yang disebutkan di atas. Padahal seharusnya ada 24 isu krusial menurut Aliansi Nasional Reformasi. Entah bagaimana bisa berkurang, intinya sejumlah pasal tersebut dinilai mengancam demokrasi yang ada saat ini, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi. Saya pun merasa khawatir isu-isu tersebut dibahas dengan percepatan, mengingat targetnya Juli 2022. Menkumham pun juga ragu dan mengatakan akan mencoba ngebut, menjadikan ini kado Agustusan untuk Indonesia.
Melihat belum adanya draft resmi RKUHP yang dibuka kepada publik hingga saat ini, saya khawatir apabila masyarakat belum sempat membaca dan mempelajarinya lalu pemerintah langsung menyerahkan dan disahkan begitu saja. Semoga lekas selesai dengan jelas, ya, Pak. Kami tunggu hadiahnya, terima kasih.
0 Komentar