Menurut Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Budhi Herdi dalam jumpa pers pada Jumat tanggal 8 Juli 2022, terjadi baku tembak polisi oleh polisi yang melibatkan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumliu di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo. Brigadir J alias Brigadir Yosua ditugaskan untuk menjadi sopir untuk istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Chandrawati. Sedangkan Bharada E atau Bharada Eliezer merupakan anggota Polri yang ditugaskan mengawal Irjen Ferdy Sambo.
Berdasarkan keterangan kepolisian, Brigadir J diduga melecehkan Putri Chandrawati dan menodongkan pistol kepadanya. Putri Chandrawati berteriak dan terdengar oleh Bharada E. Saat Brigadir J kepergok keluar kamar, Brigadir J disebut melepaskan 7 tembakan ke arah Bharada E, tetapi meleset. Alhasil 5 tembakan balasan pun diluncurkan oleh Bharada E yang membuat Brigadir J tewas. Mabes Polri menyebutkan bahwa saat kejadian berlangsung, Irjen Ferdy Sambo sedang melakukan tes PCR, namun lokasi tersebut belum ada kejelasan.
Senin, 18 Juli 2022, tim kuasa hukum Brigadir J membuat laporan dugaan tindak pidana pembunuhan berencana dan penganiayaan hingga menyebabkan kematian ke Bareskrim Polri. Hal ini karena pihak keluarga menemukan luka-luka selain luka bekas tembakan di tubuh Brigadir J, yaitu terdapat luka bekas sayatan di hidung, bawah mata, leher, belakang kepala, 2 jari Brigadir J yang putus, serta pundaknya hancur diduga bukan karena peluru, tetapi penganiayaan.
Eks Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabasi) TNI Laksamana Muda Purn Soleman B. Ponto menyebutkan beberapa keganjilan atas kematian Brigadir J, antara lain:
1. Pengungkapan kasus kematian Brigadir J belum terungkap sejak terjadinya baku tembak, pengungkapan ini terkesan lambat. Justru yang semakin gencar adalah munculnya dugaan pelecehan seksual.
2. Kasus tembak-menembak ini tidak ada buktinya, itu hanyalah laporan dari Kapolres karena belum ada satu orang pun yang melihat kejadian tersebut. Kapolres menyebutkan bahwa CCTV di tempat kejadian, 2 minggu sebelum kasus ini terjadi sudah dicabut karena rusak, namun ternyata beritanya satu hari setelah penembakan, CCTV baru dicabut.
3. Berdasarkan laporan dari Komisioner Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, tindakan otopsi oleh pihak Polri kepada Brigadir J sudah dilakukan, tetapi belum dibuka ke Kompolnas.
4. Dalam Peraturan Dasar Kepolisian dijelaskan bahwa senjata jenis pistol untuk Perwira dan Bintara, sedangkan untuk Tamtama adalah senjata laras panjang. Sangat janggal jika anggota Tamtama (apalagi tamtama tingkat rendah) memegang senjata Glock 17 (senjata level jendral/pimpinan).
Fakta-fakta kejanggalan kasus tewasnya Brigadir J, antara lain:
1. Insiden penembakan baru diumumkan setelah 3 hari kejadian (perbedaan waktu kejadian dan pengungkapan).
2. Matinya CCTV di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.
3. Profil Bharada E, penembak Brigadir J belum diungkap.
4. Luka sayat dan jumlah tembakan di tubuh Brigadir J.
5. Pihak keluarga sempat dilarang melihat jenazah dan tidak mendapat penjelasan secara lengkap.
Menurut saya, kasus penembakan ini menjadi perhatian publik karena konsep “Polri presisi” dari Kapolri terutama pada salah satu poinnya, yaitu transparansi berkeadilan. Apabila pada masalah ini terjadi upaya pengaburan dalam pencarian kebenaran materiil untuk menemukan suatu keadilan, pasti ada yang menghambat penegakan pencarian kebenaran hukum dengan skenario cerita. Banyak kejanggalan yang muncul dari proses penanganan dan penjelasan Polri yang tidak jelas mengenai hubungan antara sebab dan akibat setiap rantai peristiwanya.
“Usut tuntas, buka apa adanya. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Transparan. Itu penting untuk (dituntaskan secara apa adanya) agar masyarakat tidak ada keragu-raguan terhadap peristiwa yang ada, yang harus dijaga kepercayaan publik terhadap polri.” ucap Ir. H. Joko Widodo, Presiden RI. Kami berharap agar perintah dari Presiden Joko Widodo dapat dilaksanakan oleh tim penyelidik dengan baik dan sebenar-benarnya.
0 Komentar